Minggu, 19 November 2017

kebenaran mutlak dan kebenaran nisbi

Kebenaran mutlak dan kebenaran nisbi. Disebutkan bahwa kebenaran absolut, kebenaran mutlak hanya pada Allah. Pada manusia hanya kebenaran relatif, kebenaran nisbi. Tak ada manusia yang bebas dari kesalahan. Guru, Ustadz, Da’i, Muballigh, Kiyai, Ajengan, Ulama, bahkan Nabi dan Rasul sekalipun tak ada yang ma’shum, yang bebas dari kesalahan. Semua bisa dikecam, dikritik, dikoreksi, digugat. Demikian sering disuarakan, baik melalui media cetak, maupun media elektronik. Kebenaran mutlak hanya milik Allah Ia mengatakan dan menguasai apa yang Ia katakan PerkataanNya terkandung kebenaran yang mutlak Ayat Allah menjadi mutlak tatkala disampaikan karena ketundukan. Kebenaran yang keluar dari mulut seorang manusia bersifat nisbi Meski terkadang yang disampaikannya adalah ayat Allah tetap ketika Nisbi saat dunia menjadi tujuan Nisbi saat bukan Allah menjadi tujuannya. Kebenaran mutlak yang keluar dari mulut manusia adalah Saat seorang manusia mengembalikan apa yang menjadi hak-hak Allah …yaitu kalimat-kalimat pujian dan mengakui aku hanyalah ciptaan Sang Maha Mutlak. Manusia jelas bukan kebenaran mutlak, karena ia tidak memenuhi syarat-syaratnya. Manusia bukan kebenaran mutlak karena ia makhluk ciptaan yang terbatas, bersifat subjektif dan dikuasai oleh ruang dan waktu. Bersifat subjektif artinya terhadap objek yang sama manusia mempunyai sudut pandang atau pendapat yang berbeda-beda. Kalau misalnya ada 1000 orang yang dimintai pendapatnya akan sesuatu objek, akan ada 1000 macam pandangan yang berbeda-beda. Manusia mengerti sesuatu sebatas pengertiannya sendiri dan melihat sesuatu sebatas daya lihatnya sendiri. Dia tidak bisa dan tidak mungkin bisa mengerti dan melihat sesuatu sebagaimana adanya. Jadi kebenaran yang dilihatnya dari sudut pandangnya sendiri ( yang terbatas ) itu bersifat relatif, bukan absolut ( mutlak ). Dikuasai oleh ruang dan waktu mempunyai implikasi bahwa ia tidak mahatahu ( artinya banyak hal yang tidak diketahuinya), bisa salah dan selalu berubah berganti. Pandangan manusia itu sangat terbatas karena ( tubuh ) manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Manusia hanya bisa berada pada satu tempat pada waktu tertentu. Indra-indra tubuh manusia tidak bisa mendeteksi sesuatu yang terlalu ekstrem. Mata manusia tidak bisa menangkap benda yang terlalu besar atau kecil, terlalu dekat atau terlalu jauh. Mata manusia juga tidak bisa menangkap gerakan yang terlalu cepat. Mata manusia hanya bisa menangkap cahaya dengan panjang gelombang dalam suatu rentang tertentu. Telinga manusia hanya dapat menangkap suara dalam rentang frekuensi tertentu. Otak manusia hanya dapat memikirkan pola-pola yang sudah dikenalnya sebelumnya. Banyak hal yang tidak atau belum diketahui manusia, dan yang tidak atau belum pernah terpikirkan. Dan ada hal-hal yang tidak akan pernah bisa terpikirkan olehnya. contohnya dalam dunia islam, ketika menyimak tulisan Masdar Farid Mas’udi, Rois Pengurus Besar Nahdlaaatul Ulama “Sesat yang Menyesatkan” (KOMPAS, Sabtu, 3 Maret 2012, hal 6, Opini), seolah merasakan gema pernyataan tersebut di atas, karena semua, masing-masing mengkalim, mengakui kebenaran absolut, kebenaran mutlak. Di sisi lain, tulisan tersebut secara terselubung, tersirat juga memandang yang tak sepaham dengan penulis termasuk ke dalam kateogri “Sesat yang Menyesatkan”. Pengikut Ibnu Taimiah dituding termasuk yang bukan Sunni, karena pedapatnya tentang ziarah ke kubur dan tentang thalaq menyalahi pendapat Ulama pada jamannya. Karena pendapatnya tentang aqidah dikategorikan masuk gologan “Musyabbihat” Ajaran Ibnu Taimiyah yang dianggap sejalan dengan ajaran Sunni adalah bahwa ijma’ ulama itu adalah m’shum, benar, bebas dari salah, wajib dipegangi sebagai dasar hukum di samping Quran dan Sunnah. Bahwa seseorang akan dapat manfa’at (pahala) dari perbuatan orang lain. Wahabi (pengikut Ibnu Wahhab) dituding hanya berdasarkan pada Quran dan hadis saja, dan tidak menyertakan ijma’ dan qiyas. Tidak membolehkan berziarah (untuk mengkeramatkan) kubur. Tidak membolehkan orang bertawassul. (Simak antara lain : “Pedoman Pokok Dalam Kehidupan Keagamaan Berdasarkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, oleh KH Tb M Amin Abdullah albantani, 1984. Majalah ASSUNNAH, Surakarta, No.07/1414-1993, ‘Iftiraqul ummah’. “Tadzkiratul Qulub”, oleh Muhammad Jamil Jaho, 1956:54-56. PANJI MASYARAKAT, No.498, 21 Maret 1986, hal 36-37. “Tafsir alAzhar”, oleh Prof Dr Hamka, tentang ayat QS 6:159; juzk XI, hal 188.“Tafsir Ibnu Katsir”, tentang ayat QS 3:105.“Thabaqatus Syafi’iyah”, oleh KH Siradjuddin Abbas, 1975:13-14) Karena kebenaran itu relatif, maka kebenaran Fiqih pun digugat, dipersoalkan. Kebenaran Fiqih bersifat situsional dan kondisional, tergantung pada sikon. Hasibullah Satrawi mengusung nalar yang dikeembangkan Syii’ah, yang bercorak idealis yang oleh Muhammad Abid Al-Jabiri, filsuf Arab modern dari Maroko disebutkan dengan istilah “ma yanbaghiy ay-yakuna (yang seharusnya ada/terjadi) (KOMPAS, Sabtu, 3 Maret 2012, hal 7, Opini : “Fikih Revolusi”). Jadi kebenaran mutlak yang sejati itu harus datang dari luar manusia. Adapun manusia hanya bisa mempunyai kebenaran relatif. Tidak mungkin ada kebenaran mutlak di level manusia atau yang di bawahnya. Kebenaran mutlak harus datang dari level yang lebih tinggi, dari Allah. Jadi kebenaran mutlak adalah kebenaran yang datang dari Allah yang mahabesar. Kebenaran relatif adalah kebenaran manusia dari sudut pandangnya sendiri yang terbatas terhadap kebenaran mutlak tersebut. Hanya ada satu kebenaran mutlak, yang bersifat objektif, yang dikelilingi oleh banyak kebenaran relatif yang bersifat subyektif, bagaikan matahari yang dikelilingi planet-planet. Makin dekat kebenaran relatif itu kepada kebenaran mutlak maka ia makin benar. Jadi yang relatif harus mendekati yang absolut, subyektivitas harus mengejar obyektivitas, untuk memperkecil kesenjangan di antara keduanya. Mudah-mudahan renungan singkat di atas bisa membuat kita menjadi lebih rendah hati, paling tidak sadar bahwa apapun pendirian atau pendapat kita, itu hanyalah kebenaran relatif, kebenaran dari sudut pandangnya sendiri. Karena kita cenderung melupakan hal ini, dan memutlakkan yang relatif tersebut. Orang yang memutlakan yang relatif saya sebut sebagai orang yang ‘sok mahatahu’. Orang seperti ini merasa dia memiliki kebenaran mutlak yang sebenarnya hanya milik Tuhan; inilah yang dinamakan ‘kebenaran virtual’ yaitu kebenaran relatif yang dimutlakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

politik islam pada masa lampau.

Islam dikenal dengan sejarah kerajaan islam yang amat ditakuti negara lain. Dengan kebesaran dan kekuasaan islam yan luas menjadi ancama bag...